.

Senin, 29 November 2010

PSSI Paranoid dengan LPI


Mengapa PSSI begitu reaktif, bahkan cenderung paranoid, terhadap rencana digelarnya kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI)? Salah jika Anda menganggap karena mereka ingin menegakkan aturan persepakbolaan di Tanah Air, seperti yang selalu mereka klaim. Yang tepat, PSSI merasa, otoritas dan kekuasaan mereka tengah mendapat ancaman serius.




Sikap paranoid PSSI itu terlihat gamblang dan sangat mencolok. Di saat pengelola LPI menggelar laga amal di Surabaya dan Malang, sebuah laga amal menggalang dana bantuan untuk korban bencana tsunami di Mentawai dan letusan Gunung Merapi, PSSI berusaha mengganjalnya dengan menggalang aliansi dengan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) dan sejumlah federasi di Malaysia (FAM), Australia (FFA), dan lain-lain.
Dan, lihatlah komentar Sekjen PSSI Nugraha Besoes berikut ini: “…karena namanya sudah jelek, Subramaniam susah cari duit di Malaysia sehingga dia harus mencari makan di Indonesia.” (sumber) Subramaniam adalah orang Malaysia yang menjadi salah satu ofisial laga pada dua laga amal tersebut.
PSSI benar-benar panik. Nugraha mengontak sana-sini. Mulai dari AFC, FAM, FFA, dan sejumlah federasi sepak bola Asia lainnya hanya untuk mengeluarkan pernyataan bahwa keterlibatan ofisial pertandingan dari luar negeri itu sebagai sesuatu yang “ilegal dan liar”.
Tidak cukup itu saja, PSSI juga mengontak FIFA, Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF), dan Federasi Sepak Bola Mesir (EFA), mengenai tampilnya wasit FIFA asal Mesir, Yasser Abdelaouf Abdelaziz dalam dua laga amal itu. Langkah yang memperlihatkan, PSSI seperti orang tengah kebakaran jenggot.
PSSI terlihat seperti orang panik dan frustrasi. Lihatlah, para ofisial pertandingan itu tampil dengan atribut FIFA. Wasit Yasser Younnis memakai badge “FIFA” di saku kaus kirinya. Ofisial lainnya juga memakai jaket FIFA, seperti layaknya mengelola laga internasional.
Ditambah dengan batalnya PSSI menggelar sejumlah laga uji coba internasional (lawan Hongkong, Filipina, dan Kamboja) untuk uji coba timnas “Merah-Putih” terkait letusan Gunung Merapi, kemampuan LPI mendatangkan para pemain Belanda dan ofisial FIFA dari Mesir bagaikan cibiran pada PSSI. Ternyata, menggelar laga sepak bola internasional –sebutlah demikian untuk dua laga amal itu– bisa dilakukan tanpa PSSI.
Bahkan, seperti baru saja disinggung, PSSI sendiri gagal menggelar uji coba timnas lawan Filipina dan Kamboja, yang sedianya dijadwalkan pada 16 dan 21 November ini di Jakarta. “Semua saya serahkan ke PSSI karena Filipina dan Kamboja, PSSI yang atur,” lanjut Iman Arif, mantan Ketua Badan Tim Nasional (BTN) PSSI yang baru saja dimutasi menjadi Deputi Bidang Teknis BTN. (sumber)
Terkait bencana alam negeri ini, PSSI sendiri tidak mampu menggelar laga amal. Sempat muncul kabar, mereka berencana menyelenggarakan laga amal yang melibatkan Persiba Bantul. Tetapi, laga amal itu tidak terdengar. Dulu, menjelang dimulainya Liga Super Indonesia (LSI) 2010/2011, PSSI via PT Liga Indonesia menggelar laga bertajuk “Charity Shield” Arema Indonesia versus Sriwijaya FC di Malang. Namun, tidak seperti tajuknya yang berbunyi “laga amal”, uang pendapatan hasil laga itu tidak disumbangkan untuk keperluan amal.
* * *
Mengapa harus ada Liga Primer Indonesia yang kabarnya dimodali Rp 800 miliar atau dua puluh kali lipat nilai sponsor Djarum di Liga Super Indonesia musim ini? Uang sebesar itu tentu sangat lebih dari cukup untuk “memberi gizi” klub-klub dan pengurus provinsi (pengprov) pemilik hak suara di PSSI agar mereka tidak memilih lagi Nurdin Halid sebagai Ketua PSSI pada Kongres Pemilihan Ketua PSSI tahun 2011.
Logika itu pernah disampaikan seorang petinggi PT Liga Indonesia –PT Liga Indonesia adalah pengelola Liga Super Indonesia (LSI) dan Divisi Utama– dalam sebuah obrolan di sela-sela pertemuan para manajer klub LSI di Jakarta, beberapa pekan silam. “Kalau mau, Arifin bisa kasih Rp 30 miliar ke klub-klub itu, selesai sudah perkara. Dia bisa jadi Ketua PSSI tanpa harus bikin liga tandingan,” kata petinggi itu pada saya.
Sekadar informasi bagi yang belum memahami seputar pemilihan Ketua PSSI : Ketua PSSI dipilih dalam kongres lewat pemungutan suara oleh anggota PSSI yang punya hak suara. Siapa anggota PSSI yang dimaksud itu? Mereka adalah 18 klub LSI, 16 klub Divisi Utama, 14 klub Divisi Satu, 12 klub Divisi Dua, 10 klub Divisi Tiga, 33 Pengurus Provinsi, dan masing-masing satu wakil dari klub sepak bola wanita, klub futsal, asosiasi wasit, asosiasi pemain, dan asosiasi pelatih. Lima unsur terakhir itu belum terbentuk.
“Dulu orang langsung saja ingin ganti Ketua Umum (PSSI). Orang pada datang ke sini dan meminta ganti Ketua Umum (PSSI). Kalau yang datang klub atau pengda, ya begitulah.. kongres luar biasa, pakai uang, berlebih-lebihan setoran, beli suaralah, beli suara,” kata Arifin saat saya wawancarai di rumahnya yang luas dan asri, Jalan Jenggala, Jakarta, suatu pagi di awal Agustus 2010.
Itu sebenarnya cerita lama. Cerita barunya adalah tekad Arifin untuk memutar kompetisi. Berawal dari keterlibatannya memutar kompetisi usia muda (Liga Medco), lalu keprihatinannya atas gagasan reformasi sepak bola yang dinilainya melempem usai Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang, bos Medco Group itu bertekad bulat akan memutar kompetisi.
Apakah Anda ingin menjadi Ketua PSSI? “Sebenarnya bukan karena saya ingin jadi Ketua PSSI, lalu saya siapkan ini. Sudah beberapa tahun orang datang kepada saya dan minta agar mengganti Nurdin, saya tak dengarkan itu. Tetapi, mereka terus mendorong. Saya enggak mau (dianggap) hanya ngomong terus. Kalau memang harus (jadi Ketua PSSI), kenapa enggak,” kata Arifin.
Begitulah waktu terus bergulir. Melalui Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional Indonesia (GRSBNI), Arifin meluncurkan “Buku Putih Reformasi Sepak Bola Indonesia” di Jakarta. Namun, yang paling menyentak PSSI adalah ketika GRSBNI mengumumkan bakal menggulirkan Liga Primer Indonesia (LPI).
* * *
Konsep LPI, menurut Arya Abhiseka (salah satu perumusnya dan kini Manajer Liga LPI), seperti breakaway league. Gagasan breakaway league itu sebenarnya bukan barang baru dan asing di berbagai negara. Klub-klub Major League Soccer (MLS) di Amerika Serikat (Lihat), klub-klub Serie A Italia (Lihat), klub-klub La Liga Spanyol (Lihat), menggulirkan gagasan itu sebagai bentuk ketidakpuasan atas pengelolaan kompetisi, terutama soal pembagian keuntungan.
Di negeri-negeri itu, ide breakaway league lahir dari klub-klub yang tidak puas dengan pengelolaan kompetisi. Model klub-klub itu, tidak lain, adalah sukses breakaway league dalam merevolusi kompetisi sepak bola Inggris dengan buahnya berupa lahirnya Liga Primer, seperti yang ikut kita nikmati lewat televisi. (Lihat)
Mengapa klub-klub Indonesia tidak tergugah, bahkan sebagian antipati, dengan gagasan segar ini? Selain karena “masalah otak yang tidak sampai” atau kebodohan, klub-klub negeri ini sudah berada di zona nyaman (comfort zone) karena terus-menerus dikucuri dana APBD tanpa perlu peras keringat.
Melalui simbiosis mutualisma dengan PSSI, klub-klub itu –lebih tepatnya: para pengurusnya– menikmati keuntungan. Klub-klub itu tak ubahnya anggota DPR di zaman Orde Baru dan cenderung menjadi stempel kekuasaan di PSSI. Sesekali ada riak-riak protes atau kritik ke PSSI, tetapi itu hanyalah pemanis bibir dan ujung-ujungnya untuk bargain memperoleh jatah kue dari PSSI.
Apa yang bisa diharapkan dari mereka bagi perubahan sepak bola nasional? Tidak ada. Di mana letak kebodohan klub-klub itu? Klub-klub itu menjadi “orang yang paling berkeringat” dan ujung tombak terdepan dalam memutar kompetisi, tetapi mereka tidak mendapat apa-apa selain uang hak siar Rp 25 juta atau Rp 35 juta bagi laga yang disiarkan langsung televisi partner PT Liga Indonesia.
Baru akhir-akhir ini saja, setelah LPI bakal bergulir, muncul rencana PSSI untuk bagi-bagi insentif dan mulai musim juga saham. Rencana yang perlu realisasinya mengingat sudah sering dan banyak PSSI membuat rencana, tetapi sesering dan sebanyak itu PSSI mengingkarinya.
Dalam konteks inilah, kehadiran LPI patut disambut positif. Memang banyak pertanyaan yang belum terjawab, misalnya bagaimana klub-klub LPI itu bisa menyajikan tontonan menarik jika infrastruktur stadion rata-rata masih buruk seperti sekarang? Bagaimana pula meredam kerusuhan suporter, salah satu penyakit kronis sepak bola negeri ini? Dan lain-lain.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar